BAB
I
PENDAHULUAN
LATAR
BELAKANG
Secara umum istilah “karakter” yang
sering disamakan dengan istilah “temperamen” ,”tabiat”, “watak” atau “akhlak”
yang memberinya sebuah definisi sesuatu yang menekankan unsur psikososial yang
dikaitkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan. Secara harfiah menurut
beberapa bahasa, karakter memiliki berbagai arti seperti : “kharacter” (latin)
berarti instrument of marking, “charessein” (Prancis) berarti to engrove
(mengukir), “watek” (Jawa) berarti ciri wanci; “watak” (Indonesia) berarti
sifat pembawaan yang mempengaruhi tingkah laku, budi pekerti, tabiat, dan
peringai. Dari sudut pandang behavioral yang menekankan unsur somatopsikis yang
dimiliki sejak lahir, Sehingga Doni Kusuma (2007:80) istilah karakter dianggap
sebagai ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat dari diri seseorang yang
bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Karakter memiliki arti: 1). Sifat-sifat kejiwaan,
akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. 2).Karakter
juga bisa bermakna “huruf”. Menurut (Ditjen Mandikdasmen – Kementerian
Pendidikan Nasional), Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang
menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup
keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu
yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat
keputusan dan siap mempertanggung jawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia
buat. W.B. Saunders, (1977: 126) menjelaskan bahwa karakter adalah sifat nyata
dan berbeda yang ditunjukkan oleh individu, sejumlah atribut yang dapat diamati
pada individu. Gulo W, (1982: 29) menjabarkan bahwa karakter adalah kepribadian
ditinjau dari titik tolak etis atau moral,
misalnya kejujuran seseorang, biasanya mempunyai kaitan dengan sifat-sifat yang
relatif tetap. Kamisa, (1997: 281) mengungkapkan bahwa karakter adalah
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari
yang lain, tabiat, watak. Berkarakter artinya mempunyai watak, mempunyai
kepribadian. Wyne mengungkapkan bahwa kata karakter berasal dari bahasa Yunani
“karasso” yang berarti “to mark” yaitu menandai atau mengukir, yang memfokuskan
bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah
laku. Oleh sebab itu seseorang yang berperilaku tidak jujur, kejam atau rakus
dikatakan sebagai orang yang berkarakter jelek, sementara orang yang berprilaku
jujur, suka menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia. Jadi
istilah karakter erat kaitannya dengan personality (kepribadian) seseorang.
BAB
II
ISI
A.
KARAKTERISTIK ANAK USIA DINI
1. rasa ingin tahu besar
Pada anak-anak
usia dini, umumnya mempunyai rasa keingintahuanyang besar tentang hal-hal yang
ada sekitarnya. Mereka memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan antusias
terhadap berbagai hal terutama mengenai hal-hal yang baru Pada masa balita rasa
ingin tahunya ditunjukkan dengan meraih benda-benda kecil yang ada pada
jangkauannya kemudian dimasukkan ke mulutnya. Kemudian saat usia 3-4 tahun
anak-anak senang bermain bongkar pasang segala sesuatu untuk memenuhi rasa
keingintahuannya. Anak-anak juga mulai gemar untuk menanyakan semua hal meski
masih menggunakan bahasa yang sangat sederhana.
2. Mempunyai karakter yang unik
Tentunya, karakter
yang dimiliki oleh anak berbeda-beda dan mempunyai ciri khas masing-masing.
Meskipun mereka mempunyai banyak kesamaan dalam pola umum perkembangan anak
usia dini, akan tetapi setiap anak mempunyai kekhasan tersendiri dalam hal
bakat, minat, gaya belajar, dan sebagainya. Keunikan ini berasal dari faktor
genetis dan juga lingkungan. Untuk itu pendidik perlu menerapkan pendekatan
individual dalam menangani anak usia dini.
3. Senang berimajinasi
Fantasi
merupakan kemampuan membentuk tanggapan baru dengan pertolongan tanggapan yang
sudah ada. Imajinasi adalah kemampuan anak untuk menciptakan obyek atau
kejadian tanpa didukung data yang nyata. Anak usia dini sangat suka
membayangkan dan mengembangkan berbagai hal jauh melampaui kondisi nyata.
Biasanya, mereka suka terhadap hal-hal yang imajinatif Bahkan terkadang mereka
dapat menciptakan adanya teman imajiner. Teman imajiner itu bisa berupa orang,
benda, atau pun hewan.
4. Masa potensial untuk belajar
Masa itu sering
juga disebut sebagai “golden age” atau usia emas. Karena pada rentang usia itu
anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat di berbagai
aspek. Orang tua perlu memberikan berbagai stimulasi yang tepat agar masa peka
ini tidak terlewatkan begitu saja. Tetapi mengisinya dengan hal-hal yang dapat
mengoptimalkan tumbuh kembang anak.Perlu disadari juga oleh orang tua bahwa
pada masa tersebut anak-anak senang mempelajari suatu hal, mereka akan
bergairah untuk terus menekuninya dan mereka senang pula melakukan berbagai
aktifitas yang membuat sesuatu yang baru dalam dirinya. Misalkan, jika mereka
belajar mewarnai dan bernyanyi. Maka mereka akan melakukan hal tersebut
berulang-ulang karena merasakan ada perubahan dalam dirinya dari tidak bisa
menjadi bisa.Dengan diiringi rasa ingin tahu yang kuat, anak lazimnya senang
sekali menjelajah, bermain kesana kemari, mencoret-coret dinding, dan aktifitas
eksplorasi lainnya.
5. Menunjukkan sikap egosentris
Pada usia ini
anak memandang segala sesuatu dari sudut pandangnya sendiri. Anak cenderung mengabaikan
sudut pandang orang lain. Mereka cenderung memahami dan memperhatikan suatu hal
hanya dari sudut pandang kepentingan sendiri saja. Hal itu terlhat dari
perilaku anak yang masih suka berebut mainan, menangis atau merengek sampai
keinginannya terpenuhi.
6. Aktif dan energik
Anak usia dini
lazimnya senang sekali melakukan berbagai aktifitas. Si kecil seolah-olah tidak
pernah lelah, tidak pernah merasa bosan, dan tidak pernah berhenti
beraktifitas. Mereka selalu ingin tahu, selalu bergerak kesana kemari. Mereka
baru berhenti beraktifitas kecuali saat ia tidur.
7. Memiliki daya konsentrasi yang pendek
Anak usia dini
memiliki rentang perhatian yang sangat pendek. Pehatian anak akan mudah teralih
pada hal lain terutama yang menarik perhatiannya. Anak umumnya tidak akan mampu
duduk berlama-lama untuk memperhatikan sesuatu apalagi yang bersifat
membosankan. Tapi sebaliknya, anak akan senang memperhatikan hal-hal yang
menarik dan menyenangkan. Sebagai orang tua dalam menyampaikan pembelajaran
hendaknya memperhatikan hal ini.
8. Bagian dari makhluk sosial
Anak usia dini
mulai suka bergaul dan bermain dengan teman sebayanya. Ia mulai belajar
berbagi, mau menunggu giliran, dan mengalah terhadap temannya. Melalui
interaksi sosial ini anak membentuk konsep dirinya. Anak-anak sudah mulai
bersosialisasi dengan teman sebayanya dan mulai memiliki kemampuan untuk
bekerja sama dan berhubungan dengan teman-temannya Ia mulai belajar bagaimana
caranya agar ia bisa diterima lingkungan sekitarnya. Dalam hal ini anak mulai
belajar untuk berperilaku sesuai tuntutan dari lingkungan sosialnya karena ia
mulai merasa membutuhkan orang lain dalam kehidupannya.
9. Spontan.
Perilaku dan
sikap yang dicerminkan anak itu pada umumnya adalah sikap asli mereka tanpa di
rekayasa. Sehingga, sering kita jumpai anak-anak berbicara ceplas-ceplos dan
merefleksikan apapun yang ada dalam hati dan pikiran mereka. Dalam melakukan
suatu hal, anak-anak melakukannya secara spontan tanpa mempertimbangkan apakah
sesuatu itu berbahaya atau tidak bagi dirinya maupun bagi orang lain. Misalnya
saat bermain dengan benda-benda tajam, mereka cenderung tidak mau mendengarkan
perataan orangtuanya kalau benda yang dimainkannya itu berbahaya.
10. Mudah frustasi.
Jika ada sesuatu
yang tidak sesuai dengan keinginannya atau membuat dia merasa tidak puas, maka
dia akan kecewa dan meluapkannya dengan menangis atau marah-marah. Saat
anak-anak dalam usia dini menghadapi suatu kesulitan maka orang tua sebaiknya
datang untuk membantunya. Oleh karena itu sebaiknya orang tua selalu
mendampingi anak-anak terutama pada usia dini dalam bermain.
B. KARAKTERISTIK ANAK SD
1. Senang
Bermain
Pada umumnya anak SD terutama
kelas-kelas rendah itu senang bermain. Karakteristik ini menuntut guru SD untuk
melaksanakan kegiatan pendidikan yang bermuatan permainan lebih – lebih untuk
kelas rendah. Guru SD seyogyanya merancang model pembelajaran yang memungkinkan
adanya unsur permainan di dalamnya. Guru hendaknya mengembangkan model
pengajaran yang serius tapi santai. Penyusunan jadwal pelajaran hendaknya
diselang saling antara mata pelajaran serius seperti IPA, Matematika, dengan
pelajaran yang mengandung unsur permainan seperti pendidikan jasmani, atau Seni
Budaya dan Keterampilan (SBK).
2. Senang
Bergerak
Karakteristik yang kedua adalah
senang bergerak, orang dewasa dapat duduk berjam-jam, sedangkan anak SD dapat
duduk dengan tenang paling lama sekitar 30 menit. Oleh karena itu, guru
hendaknya merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak berpindah atau
bergerak. Menyuruh anak untuk duduk rapi untuk jangka waktu yang lama,
dirasakan anak sebagai siksaan.
3. Senangnya
Bekerja dalam Kelompok
Melalui pergaulannya dengan kelompok
sebaya, anak dapat belajar aspek-aspek penting dalam proses sosialisasi seperti
: belajar memenuhi aturan-aturan kelompok,belajar setia kawan,belajar tidak
tergantung pada orang dewasa di sekelilingnya,mempelajari perilaku yang dapat
diterima oleh lingkungannya,belajar menerima tanggung jawab, belajar bersaing
secara sehat bersama teman-temannya, belajar bagaimana bekerja dalam
kelompok,belajar keadilan dan demokrasi melalui kelompok. Karakteristik ini
membawa implikasi bahwa guru harus merancang model pembelajaran yang
memungkinkan anak untuk bekerja atau belajar dalam kelompok. Guru dapat meminta
siswa untuk membentuk kelompok kecil dengan anggota 3-4 orang untuk mempelajari
atau menyelesaikan suatu tugas secara kelompok.
4. Senang
Merasakan atau Melakukan Sesuatu Secara Langsung
Berdasarkan teori tentang psikologi
perkembangan yang terkait dengan perkembangan kognitif, anak SD memasuki tahap
operasi konkret. Dari apa yang dipelajari di sekolah, anak belajar
menghubungkan antara konsep-konsep baru dengan konsep-konsep lama. Pada masa
ini anak belajar untuk membentuk konsep-konsep tentang angka ,ruang,waktu,
fungsi badan,peran jenis kelamin,moral. Pembelajaran di SD cepat dipahami anak,
apabila anak dilibatkan langsung melakukan atau praktik apa yang diajarkan
gurunya. Dengan demikian guru hendaknya merancang model pembelajaran yang memungkinkan
anak terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Sebagai contoh anak akan
lebih memahami tentang arah mata angin, dengan cara membawa anak langsung
keluar kelas, kemudian menunjuk langsung setiap arah angin, bahkan dengan
sedikit menjulurkan lidah akan diketahui secara persis dari arah mana angin
saat itu bertiup.
C. KARAKTERISTIK ANAK SMP DAN SMA
A. Konsep Karakteristik siswa SMA
dan SMA
– Abstrak and idealistc. Pada masa
remaja anak – anak lebih mungkin membuat gambaran tentang diri mereka dengan
kata – kata yang abstrak dan idealistik. Gambaran tentang konsep diri yang
abstrak misalnya dapat dilihat dari pernyataan remaja usia 14 tahun mengenai
dirinya. “saya seorang manusia. Saya tidak dapat memutuskan sesuatu saya tidak
tahu siapa diri saya.” Sedangkan deskripsi idealistik dari konsep diri remaja
dapat dilihat dari pernyataan. “saya orang yang sensitive, yang sangat peduli
terhadap perasaan orang lain. Saya rasa, saya cukup cantik.” Meskipun tidak
semua remaja menggambarkan diri mereka dengan cara yang idealis, namun sebagian
besar remaja membedakan antara diri mereka yang sebenarnya dengan diri yang
diidamkannya.
– Differentiated. Konsep diri
remaja bisa menjadi semakin terdiferensiasi. Dibandingkan dengan anak yang
lebih muda remaja lebih mungkin untuk menggambarkan dirinya sesuai dengan
konteks atau situasi yang semakin terdiferensiasi. Misalnya remaja berusaha
menggambarkan dirinya menggunakan sejumlah karakteristik dalam hubungannya
dengan keluarganya, atau dalam hubungannya dengan teman sebaya, dan bahkan
dalam hubungan yang romantis dengan lawan jenisnya. Singkatnya, dibandingkan
dengan anak-anak, remaja lebih mungkin memahami bahwa dirinya memiliki ciri-ciri
yang berbeda-beda, sesuai dengan peran atau konteks tertentu.
– Contracdictions within the self. Setelah remaja
mendeferensiasikan dirinya kedalam sejumlah peran dan dalam konteks yang
berbeda beda, maka munculah kontradiksi antara diri-diri yang terdiferensiasi
ini.
Dalam sebuah penelitian Susan Harter(1986) meminta
siswa kelas 7 sembilan dan sebelas untuk mendeskripsikan diri mereka. Harter
akhirnya menemukan bahwa terdapat sejumlah istilah yang kontradiktif yang
digunakan remaja dalam mendeskripsikan dirinya(seperti jelek dan menarik, mudah
busan dan ingin tahu, peduli dan tak peduli, tertutup dan suka
bersenang-senang) meningkat secara dramatis antar kelas tujuh dan kelas
sembilan. Gambaran diri yang kontradiktif ini berkurang jumlahnya pada siswa
kelas 11, namun masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan siswa kelas 7.
– The fluciating self. Sifat yang kontradiktif
dalam diri remaja pada gilirannya memunculkan fluktuasi diri dalam berbagai
situasi dan lintas waktu yang tidak mengejutkan. Seorang peneliti menjelaskan
sifat fluktuasi dari diri remaja tersebut dengan metafora. Diri remaja akan
terus memiliki ciri ketidakstabilan hingga masa dimana remaja berhasil
membentuk teori mengenai dirinya yang lebih utuh, dan biasanya tidak terjadi
hingga masa remaja akhir, bahkan hingga masa dewasa awal.
– Real and ideal true dan false selves. Munculnya
kemampuan remaja untuk mengkontruksikan diri ideal mereka disamping diri yang
sebenarnya, merupakan sesuatu yang membingungkan bagi remaja tersebut.
Kemampuan untuk menyadari adanya perbedaan anatra diri yng nyata dengan diri
yang ideal menunjukan adanya peningkatan kemampuan kognigtif mereka. Tetapi,
carl rogers yakin bahwa adanya perbedaan yang terlalu jauh antara diri yang nyata
dengan diri ideal menunjukan ketidak mampuan remaja untuk menyesuaikan
diri. Penelitian yang dilakukan strachen dan jones (1982) menunjukan bahwa pada
pertenrgahan masa remaja terjadi dikrepansi yang lebih besar antara diri yang
nyata dengan diri ideal dibandingkan dengan pada awal dan akhir masa remaja.
Remaja cenderung menunjukkan diri
yang palsu ketika berada di lingkungan teman-teman dikelasnya. Namun ketika
berada bersama teman dekatnya remaja menunjukkan yang asli. Diri yang palsu
ditunjukkan oleh remaja untuk orang lain mengaguminya, untuk mencoba perilaku
atau peran baru yang disebabkan adanya pemaksaan dari orang lain untuk
berprilaku palsu, karena orang lain tersebut tidak memahami diri remaja yang
sebenarnya.
– Social comparison. Sejumlah ahli perkembangan
percaya bahwa, dibandingkan dengan anak-anak, remaja lebih sering menggunakan
perbandingan sosial untuk mengevaluasi diri mereka sendiri. Namun kesediaan
remaja untuk mengakui bahwa mereka menggunakan perbandingan social untuk
mengevaluasi diri mereka sendiri cenderung menurun pada masa remaja, karena
menurut mereka perbandingan sosial itu tidaklah diinginkan. Menurut remaja,
terungkapnya motif perbandingan sosial mereka akan membahayakan popularitas
mereka.
– Self-conscious. Karakter lain dari konsep diri
remaja adalah bahwa remaja lebih sadar akan dirinya dibandingkan dengan
anak-anak dan lebih memikirkan tentang pemahaman diri mereka. Remaja menjadi
lebih introspektif, yang mana hal ini merupakan bagian dari kesadaran diri
mereka dan bagian dari eksplorasi diri. Namun introspeksi tidak selalu
terjadi ketika remaja berada dalam keadaan isolasi sosial. Remaja
kadang-kadang meminta dukungan dan penjelasan dari teman temannya memperoleh
opini teman-temannya mengenai definisi diri yang baru muncul.
– Self-protective. Mekanisme untuk mempertahankan
diri merupakan salah satu aspek dari konsep diri remaja dalam upaya elindungi
dirinya, remaja cenderung menolak adanya karakteristik negatif dalam diri
mereka. Gambaran diri yang positif seperti menarik, suka bersenang senang dan
ingin tahu, lebih sering disebutkan sebagai bagian inti dari diri remaja yang
penting. Sedangkan gambaran diri yang negatif seperti jelek, egois dan gugup
lebih disebutkan sebagai bagian pinggir.
– Unconscious. Konsep diri remaja melibatkan adanya
pengenalan bahwa komponen yang tidak disadari termasuk dalam dirinya, sama
seperti komponen yang disadari. Pengenalan seperti ini tidak muncul masa remaja
akhir. Artinya, remaja yang lebih tua lebih yakin akan adanya aspek-aspek
tertentu dari pengalaman mental diri mereka yang berada diluar kesadaran atau
kontrol mereka dibandingkan dengan remaja yang lebih mudah.
– Self-integraion.Terutama pada masa remaja akhir,
konsep diri menjadi lebih terintegrasi, dimana bagian yang berbeda beda dari
diri secara sistematik menjadi satu kesatuan. Remaja yang lebih tua, lebih
mampu mendeteksi adanya ketidakkonsistenan dalam gambaran diri mereka pada masa
sebelumnya ketika ia berusaha untuk mengkontruksikan teori meneganai diri secara
umum, atau suatu pemikiran yang terintegrasi dari identitas. Ketika remaja
menghadapi tekanan untuk membagi bagi diri menjadi sejumlah peran, munculah
pemikiran formal operasional yang mendorong proses integrasi dan perkembangan
dari suatu teori diri yang konsisten dan koheren.
B. Karekteristik umun perkembangan
peserta didik
Karakteristik anak usia sekolah
menengah (SMP)
Dilihat dari taapan perkembangan
yang disetujui oleh banyak ahli, anak usia sekolah menengah (smp) berada pada
tahapan perkembangan pubertas ( 10 -14 tahun ).terdapat sejumlah karakteristik
yang menonjol pada usia smp ini, yaitu :
1. Terjadinya
ketidakseimbangan proposi tinggi dan berat badan.
2. Mulai
timbulnya ciri – ciri seks sekunder
3. Kecenderungan
ambivalensi, antara keinginan untuk bebas dari dominasi dengan keinginan
bergaul, serta keinginan untuk bebas dari dominasi kebutuhan bimbingan dan
bantuan dari orang tua
4. Senang
membandingkan kaedah – kaedah, nilai – nilai etika atau norma dengan kenyataan
yang terjadi dalam kehidupan orang dewasa.
5. Mulai
mempertanyakan secara skeptis mengenai eksistensi dan sifat kemurahan dan
keadilan tuhan
6. Reaksi dan
ekspesi emosi masih labil.
7. Mulai
mengembangkan standar dan harapan terhadap perilaku diri sendiri yang sesuai
dengan dunia sosial
8. Kecenderungan
minat dan pilihan karer relatif sudah lebih jelas.
Adanya karakteristik anak usia
sekolah menengah yang demikian, maka guru diharapkan untuk :
1. Menerapkan
model pembelajaran yang memisahkan siswa pria dan wanita ketika membahas
topik – topik yang berkenaan dengan anatomi dan fisiologi
2. Memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menyalurkan hobi dan minatnya melalui kegiatan –
kegiatan yang positif.
3. Menerapkana
pendekatan pembelajaran yang memperhatikan perbedaan individu atau kelompok
kecil.
4. Meningkatkan
kerja sama dengan orang tua dan masyarakat untuk mengembangkan potensi siswa
5. Tampil
mejadi teladan yang baik bagi siswa
6. Memberikan
kesempatan kepada siswa untuk belajar bertanggung jawab
Karakteristik anak usia remaja (SMA)
Masa remaja (12 – 21 tahun )
merupakan masa peralhan anata masa kehidupan anak – anak dan masa kehidupan
orang dewasa. Masa remaja sering dikenal dengan masa pencarian jati diri. Masa
remaja ditandai dengan sejumlah karakteristik penting, yaitu :
1. Mencapai
hubungan yang matang dengan teman sebaya
2. Dapat
menerima dan belajar peran sosial sebagai pria atau wanita dewasa yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat.
3. Menerima
keadaan fisik dan mampu menggunakan secara efektif
4. Mencapai
kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya.
5. Memilih dan
mempersiapakn karier di masa depan sesuai dengan minat dan kemampuan
6. Mengembangkan
sikap positif terhapdap pernikahan, hidup berkeluarga dan memiliki anak.
7. Mengembangkan
keterampilan intelektual dan konsep – konsep yang diperlukan sebagai warga
negara.
8. Mencapai
tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial
9. Memperoleh
seperangkat nilai dan sistem etika sebagai pedoman dalam bertingkah laku.
10. Mengembangkan
wawasan keagamaan dan meningkatkan religiusitas.
Berbagai
karakteristik perkembangan masa remaja tersebut, menuntut adanya pelayanan
pendidikan yang mampu memenuhi kebutuhannya. Hal ini dapat dilakukan guru, di
antaranya :
1. Memeberikan
pengetahuan dan pemahaman tentang kesehatan reproduksi, bahaya penyimpangan
seksual dan penyalahgunaan narkotika.
2. Membantu
siswa mengembangkan sikap apresiatif terhadap postur tubuh atau kondisi
dirinya.
3. Menyediakan
fasilitas yang memungkinkan siswa mengembangkan keterampilan yang sesuai dengan
minat dan bakatknya, seperti saran olahraga, kesenian dan sebagainya.
4. Melatih
siswa untuk mengembangkan resiliensi, kemampuan bertahan dalam kondisi sulit
dan penuh godaan
5. Menerapkan
model pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk berfikir kritis, refleksi, dan
positif.
6. Memberikan
pelatihan untuk mengembangkan keterampilan memecahkan masalah dan mengambil
keputusan
7. Membantu
siswa mnegmbangkan etos kerja yang tinggi dan sikap wiraswasta
8. Memupuk
semanga keberagamaan siswa melalui pembelajaran agama terbuka dan lebih
toleran.
9. Menjalin
hubungan yang harmonis dengan siswa, dan bersedia mendengarkan segala keluhan
dan problem yang dihadapinya
C. Karakteristik hubungan remaja dengan teman sebaya
Perkembangan kehidupan sosial remaja juga ditandai dengan gejala meningkatnya
pengaruh teman sebaya dalam kehidupan mereka. Sebagian besar
waktunya dihabiskan untuk berhubungan atau bergaul dengan teman – teman sebaya
mereka. Studi – studi kontemporer tentang remaja, juga menunjukkan bahwa
hubungan yang positif dengan teman sebaya diasosiasikan dengan penyesuaian
sosial yang positif (santrock, 1998 ). Hartup (1982) misalnay mencatat bahwa
pengaruh teman sebaya yang harmonis selama masa remaja, dihubungkan dengan
kesehatan mental yang positif pada usia setengah baya (Hightower; 1990). Secara
lebih rinci, kelly dan hasnen (1987) menyebutkan 6 fungsi positif dari teman
sebaya, yaitu :
1. Mengontrol
impuls – impuls agresif. Melalui interaksi dengan teman sebaya, remaja belajar
bagaimana memecahkan pertengahan – pertengahan dengan cara – cara yang lain
selain dengan tindakan agresi langsung.
2. Memperoleh
dorongan emosional dan sosial serta menjadi lebih independen. Teman – teman dan
kelompok teman sebaya memeberikan dorongan bagi remaja untuk mengambil peran
dan tenggung jawab baru mereka. Dorongan yang diperoleh remaja dari teman –
teman sebaya mereka ini akan menyebabkan berkurangnya ketergantungan remaja
pada dorongan keluarga mereka.
3. Meningkatkan
keterampilan – keterampilan sosial, mengembangkan kemampuan penalaran, dan
belajar untuk mengekspresikan perasaan – perasaan dengan cara – cara yang lebih
matang. Melalui percakapan dan perdebatan dengan teman sebaya, remaja belajar
mengekspresikan ide – ide dan perasaan – perasaan serta mengembangkan kemampuan
mereka memecahkan masalah.
4. Mengembangkan
sikap – sikap seksual dan tingkah laku peran jenis kelamin terutama dibentuk
melalui interaksi dengan teman sebaya. Remeja belajar mengenai tingkah laku dan
sikap – sikap yang mereka asosiasikam dengan menjadi laki – laki dan perempuan
muda
5. Memperkuat
penyesuaian moral dan nilai – nilai. Umunya orang dewasa menhajarkan kepada
anak – anak mereka tentang apa yang benar dan apa yangb salah. Dalam kelompok
teman sebaya, remaja mencoba mengambil keputusan atas diri mereka sendiri.
Remaja mencoba mengambil keputusan atas diri mereka sendiri. Remaja
mngevaluasi nilai – nilai yang dimilikinya dan yang dimiliki oleh teman
sebayanya, serta memutuskan mana yang benar. Proses mengavaluasi ini dapat
membantu remaja mengembangkan kemampuan penalaran moral
6. Meningkatkan
harga diri. Menjadi orang yang disukai oleh sejumlah besar teman – teman
sebayanya membuat remaja merasa enak atau senang tentang dirinya.
Sejumlah ahli teori lain menekankan pengaruh negatif dari teman sebaya terhadap
perkembangan anak – anak dan remaja. Bagi sebagian remaja, ditolak atau
diabaikan oleh teman sebaya, menyebabkan munculnya perasaan kesepian atau
permusuhan. Disamping itu, penolakan oleh teman sebaya dihubungkan dengan
kesehatan mental dan problem kejahatan. Sejumlah ahli teori juga telah menjelaskan
budaya teman sebaya remaja merupakan suatu bentuk kejahatan yang merusak nilai
– nilai dan kontrol orang tua. Lebih dari itu, teman sebaya dapat
memperkenalkan remaja pada alkohol, obat – obatan (narkoba), kenakan]lan, dan
berbagai bentuk perilaku yang dipandang orang dewasa sebagai maladaptif
(santrock, 1998). Meskipun selama masa remaja kelompok teman sebaya memberikan
pengaruh yang besar, namun orangtua tetap memainkan peranan yang penting dalam
kehidupan remaja. Hal ini adalah karena antara hubungan dengan oang tua dan
hubungan dengan teman sebaya memberikan pemenuhan akan kebutuhan – kebutuhan
yang berbeda dalam perkembangan remaja ( Savin – William & Berndt, 1990).
Dalam hal kemajuan sekolah dan rencana karir misalnya, remaja sering bercerita
dengan orangtuanya. Orangtua menjadi sumber pentig yang mengarahkan dan
menyetujui dalam pembentukan tata nilai dan tujuan – tujuan masa depan.
Sedangkan dengan teman sebaya, remaja belajar tentang hubungan – hubungan
sosial di luar keluarga. Mereka berbicata tentang pengalaman – pengalaman dan
minat – minat yang lebih bersifat pribadi, seperti masalah pacaran dan
pandangan – pandangan tentang seksualitas. Dalam masalah – masalah yang menjadi
minat pribadinya ini umumnya remaja merasa lebih enak berbicara dengan teman –
teman sebayanya, mereka percaya bahwa teman sebaya akan memahani perasaan –
perasaan mereka dengan lebih baik dibandingkan dengan orang – orang dewasa.
Karakteristik Umum Peserta Didik
dari Segi Gender
Bebrapa
para ahli mengatakan bahwa perbedaan gender dalam kaitannya dengan kognisi dan
prestasi mungkin bersifat situasional. Perbedaan itu bervariasi menurut waktu
dan tempat (Biklen &Pollard, 2001) dan mungkin berinteraksi dengan ras dan
kelas sosial (Pollard, 1998). Penulis Boys and Girls Learn Differently
mengatakan bahwa perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan memang ada
akibat perbedaan dalam otak mereka.
·
Perbedaan Anak Perempuan dengan Anak
Laki-Laki
Menurut
Diane (1995, 1996), ada beberapa perbedaan anak perempuan dan anak laki-laki,
anak perempuan menunjukkan kinerja yang lebih baik di bidang seni bahasa,
pemahaman bacaan, dan komunikasi tertulis dan lisan. Sedangkan anak laki-laki
terlihat sedikit unggul di bidang matematika dan penalaran matematis.
Menurut Ormrod (2000) :
Fitur
|
Anak Perempuan
|
Anak Laki-Laki
|
Implikasi untuk Pendidikan
|
Kemampuan
Kognitif
|
Lebih
baik dalam tugas-tugas verbal
|
Lebih
baik dalam keterampilan visual-spasial
|
Berharap
anak laki-laki dan perempuan memiliki kemampuan kognitif yang sama
|
Fisik
|
Sebelum
pubertas kapabilitasnya sama
|
Setelah
pubertas, lebih unggul dalam hal tinggi badan dan kekuatan otot
|
Mengasusmsikan
kedua gender memiliki potendi untuk mengembangkan berbagai keterampilan fisik
dan motorik
|
Motivasi
|
Peduli
pada prestasi sekolah, tetapi kurang berani mengambil resiko
|
Usaha
yang besar di subjek-subjek “stereotipikal laki-laki”
|
Mendorong
kedua gender unggul disemua subjek. Menghindari stereotip
|
Self-Esteem
|
Cenderung
melihat diriny sendiri lebih kompeten di bidang hubungan interpersonal
|
Lebih
memiliki rasa percaya diri untuk mrngrndalikan dan mengatasi masalah.
Lebih
menilai kinerjanya sendiri secara positif
|
Menunjukkan
kepada semua siswa bahwa mereka bisa berhasil di bidang-bidang yang
kontrastereotip
|
Aspirasi
Karier
|
Cenderung
melihat dirinya lebih collage-bound.
Cenderung
melihat karier yang tidak akan
mengganggu peran mereka di masa depan.
|
Memiliki
ekspektasi jangka panjang yang lebih tinggi untuk dirinya sendiri
|
Menunjukkan
otang-orang yang sukses dalam karier di semua bidang sekaligus dalam keluarga
|
Hubungan
Interpersonal
|
Cenderung
lebih afiliatif dan lebih banyak membentuk hubungan dekat.
Nyaman
berada di situasi yang kompetitif dan menyukai lingkungan yang kooperatif
|
Cenderung
menunjukkan agresi fisik yang lebih tinggi
|
Mengajari
kedua gender cara-cara berinteraksi dengan baik dan memeberikan lingkungan
yang kooperatif untuk mengakomodasi kecenderungan afiliatif anak perempuan.
|
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam
pengelolaan proses pembelajaran guru harus memiliki kemampuan mendesain
program, menguasai materi pelajaran, mampu menciptakan kondisi kelas yang
kondusif, terampil memanfaatkan media dan memilih sumber, memahami cara atau
metode yang digunakan sesuai kebutuhan dari karakteristik anak. Ketika anak
– anak memasuki masa remaja konsep diri mereka mengalami perkembangan yang
sangat kompleks dan melibatkan sejumlah aspek dalam diri mereka. Karakteristik
anak remaja bisa dilihat dalam beberapa aspek, yaitu dari Pertumbuhan fisik,
perkembangan seksual, cara berfikir kausalitas, emosi yang meluap-luap,
perkembangan sosial, perkembangan moral dan perkembangan kepribadian.
Dalam hal ini peran orang tua sangatlah penting dalam kehidupan remaja karena
antara hubungan dengan oang tua memberikan pemenuhan akan kebutuhan – kebutuhan
yang berbeda dalam perkembangan remaja. Orangtua menjadi sumber pentig yang
mengarahkan dan menyetujui dalam pembentukan tata nilai dan tujuan – tujuan
masa depan.
Guru sebagai orang tua kedua bagi siswa di sekolah juga mempunyai peranan yang
sama penting dengan orang tua, dalam masa perkembangan remaja guru harus
memberikan arahan – arahan tentang apa yang terjadi dalam diri remaja, guru pun
harus memberikan contoh yang baik karna dalam masa perkembangannya, siswa
cenderung meniru apa yang mereka lihat sehari – hari.
DAFTAR
PUSTAKA
makalah-karakteristik-umum-perkembangan peserta-didik[compatibility
mode]
staff.uny.ac.id/sites/default/files/karakteristik%20siswa%sd.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar